Sabtu, 04 Juli 2009

Catatan Perjalanan: “Petani Kopi Punya Teori”

Sebut saja namanya Pak Sukran, penjual jagung di jalan lintas Curup – Linggau. Dia sudah ada di sana ketika saya mampir makan jagung tahun 2004. Mungkin bisnis jagung di gubug nya itu sudah berlangsung bertahun-tahun ke belakang. Gubug itu bergoyang-goyang bak gempa bumi 6.5 SR bila ada truk pengangkut sayur dan barang kemasan lewat. Dan tidak tertutup kemungkinan, jadi sasaran kendaraan nyasar kebut-kebutan di lintas Curup – Linggau. Persis di belakang gubug ada ladang kopi, di belakang ladang kopi ada ladang sayuran: kol, wortel, cabe, tomat. Sampah kelobot dan tongkol jagung dikumpulkan asisten pak Sukran di bakul, yang berfungsi sebagai tempat sampah. Fungsi sampah jagung untuk menyuburkan pohon kopi. Meskipun ada tempat sampah, toh banyak pembeli yang hobby langsung membuang kelobot dan tongkol jangung ke semak-semak pohon kopi. Jorok sih, cuma kalau baik untuk kopi … ya … itu justifikasi kepentingan pohon kopi.
Hitung-hitung lebih dari lumayan hasil berjualan jagung; tiga puluh menit saya nonkrong di gubug itu praktis sudah Rp70 ribu masuk kantong nya. Padahal harga setongkol jagung murah, cuma Rp 1 ribu saja. Pengendara motor datang-pergi, mampir gubug Pak Sukran, makan atau beli bungkus, atau makan dan beli bungkus jagung. Rata-rata tiap hari barangkali lebih dari 500 tongkol jagung bisa terjual plus spring water botolan dan Pop Mie. Wah pendapatan jualan jagung setara dengan gaji manager dong … itu kata anak saya. Kan dia tak perlu bayar listrik untuk AC, sewa property, dan dana keamanan. Semuanya sudah termaktub dalam “manajemen” Pak Sukran!
Di samping modal jagung muda, modal social lain yang perlu disiapkan PaK Sukran antara lain jawaban atas pertanyaan-pertanyaan pembeli. Setiap pembeli kurang lebih punya pertanyaan yang sama, misalnya dari mana pasokan jagung muda ia dapat, berapa tongkol laku setiap hari, kalau hari minggu berapa tongkol yang harus disiapkan, buka jam berapa, tutup jam berapa. Kenapa hanya menjual jagung rebus, dan tidak menjual jagung bakar. Mungkin lain kali Pak Sukran cukup memutar kaset jawaban saja …. Eh … waktu menoleh kearah belakang, ada pohon kopi, pertanyaan lantas beralih ke soal kopi.

… Itu sebab judul catatan perjalanan ini tentang Teori Petani Kopi … Sebab Pak Sukran pun seorang petani kopi. Nah beginilah diantara teorinya tentang tanaman kopi dan tata niaga kopi ...
Inovasi menanam pohon kopi. Pohon kopi itu umurnya puluhan tahun. Digambarkan Pak Sukran, mungkin orang yang menanamnya sudah meninggal, pohon-pohon kopi masih terus berproduksi sampai bertahun-tahun ke depan. Penanaman cara lama, pohon kopi ditanam dari benih. Pohon-pohon yang ditanam menurut cara tradisi itu rata-rata menghasilkan atu kali panen setahun. Inovasi penanaman yang dikembangkan oleh petani kopi beberapa tahun ini adalah dilakukan dengan memotong pohon tua dan mengokulasikan dengan dahan kopi muda. Cara baru ini terbukti menyegarkan kembali pohon hingga mendorong produktivitasnya, bahkan tanpa musim dan bisa dipanen setiap bulan.
Mengelola paska panen perlu strategi yang memadai juga. Petani kopi lebih percaya pada matahari, dibanding alat pengering kopi. Kala cuaca terang, matahari bersinar penuh, maka buah kopi hanya perlu dijemur selama 9 – 10 hari. Lalu buah kopi kering itu disimpan dalam kantong-kantong di tempat yang kering, tidak lembab. Buah kopi kering ternyata tahan disimpan sampai 4 tahun … kata Pak Sukran yang tidak tahan malah pemiliknya, tergoda Yamaha bebek Mio, atau Lemari Es, atau televisi, atau VCD player, bahkan godaan parabola beserta receiver nya, membuat buah kopi tak tahan lama.
Siapa bilang hanya ekonom saja yang punya paradigma ekonomi … petani kopi di Rejang Lebong dan sekitarnya mengalami berbagai situasi, jadi banyak pula teorinya dalam tata niaga kopi. Salah satu paradigm Pak Sukran adalah tahan buah kopi kering itu sampaia harga kopi benar-benar dalam posisi bagus … baru dilepas. Kalo petani pe de dengan kualitas buah kopi dan proses pengeringan maksimal, maka tabungan in natura berbentuk buah kopi kering mereka bisa lebih menguntungkan. Karena pada saat harga kopi mencapai puncak, hasil penjualan kopi bisa mengisi buku tabungan mereka di BRI, BNI, atau bank lain – dan dengan Rp. 100 juta saja (katanya…) keluarga petani kopi sudah cukup aman untuk menggantungkan kebutuhan keluarga sehari-hari dari bunga bank.
Itulah jawab dari pertanyaan mengapa Pak Sukran tetap mempertahankan warung gubug jagungnya … walau lahan kopinya cukup luas. Dengan penampilan yang sederhana orang boleh salah tebak, para pelancong yang berkendara Xenia atau Avanza jangan pongah dulu kepadanya … secara tak sadar dia sudah membilang bahwa anaknya juga sedang belajar mobil yang baru dibelinya … hihihi … mungkin mobilnya Innova keluaran tahun 2009 … melihat tumpukan buah kopi kering dan bisnis jagung rebus di musim liburan panjang saja, tak kaget bila ia mampu indent Innova. Bukankah ini termasuk “paradigm ekonomi kerakyatan” ?