Selasa, 23 Juni 2009

KETIKA DEMOKRASI MENJADI PECUNDANG

Mendadak di depan kita ada hiruk pikuk Pemilu: kisruh, ruwet, putusan MK, kacau DPT, serangan fajar, angka golput besar, gelembung suara, dokumen penting hilang, gedung penyelenggara dibakar, gebrak meja, pengusiran saksi, dan seterusnya. Lalu orang rame-rame bicara tentang demokrasi. Demokrasi menjadi kata ampuh yang dipakai sebagai jargon legitimasi dan pembersihan segala perilaku seputar Pemilu. Mungkin anda pernah membayangkan demokrasi seperti saya ? Kata tunggal yang bermakna jamak, kata netral nan sakti yang diucapkan siapa saja, termasuk yang perilakunya gak nyambung dan undemocratic.Dalam benak imajinasi personifikasi saya tentang demokrasi … ia bisa menjadi pemenang … bila hak rakyat terbukti ada pada puncak kedaulatan atau sovereignity … tetapi ia bisa menjadi pecundang … ketika hak rakyat tumbang terinjak-injak.

Salah satu indikator tegaknya demokrasi adalah ketika ada Pemilu untuk memilih wakil rakyat. Yang dinilai dari kualitas Pemilu, secara teoritis, antara lain: (1) aktualisasi kedaulatan rakyat, asesmen nya bisa dilihat dari kesederhanaan dan kepraktisan Pemilu itu sendiri; (2) jaminan hak dan kebebasan pemilih, poin ini biasanya di ases melalui sifat Pemilu – apakah umum berlaku untuk siapa saja yang berhak, pemilih langsung menentukan wakil pilihannya, pemilih bebas memilih sesuai aspirasinya, dan dijamin kerahasiaan pilihannya. Kualitas Pemilu perlu dilihat dari 3)ada tidaknya arena kompetisi yang adil, fair dan sportif; lalu yang ke (4) Pemilu perlu di nilai dari fungsinya sebagai sarana keterwakilan atau bukan, untuk poin asesmen ini alat melihatnya adalah apakah sistem pemilihan mampu menjamin aspirasi dan kepentingan-kepentingan yang hidup dalam masyarakat, dan apakah keterwakilan tadi proporsional atau tidak. Mari kita mulai mengurai proses Pemilu kita, apakah sang demokrasi tegak pada puncak kedualatannya, atau malahan tumbang sebagai pecundang.

Dari segi makro ada ketidakmampuan legislasi menciptakan syarat pertama Pemilu, yaitu memperlihatkan bahwa sistem multipartai kita telah menghancurkan aktualisasi kedaulatan rakyat, karena mendasari proses Pemilu yang tidak sederhana dan tidak praktis. Jangan kaget bahwa dasar legislasi tentang parpol lah yang berkontribusi terhadap kecenderungan ketidak-bertanggungjawab nya parpol – baik terhadap kader maupun terhadap rakyat. Di samping menciptakan oligarkhi secara internal, parpol juga tak mampu menyerap aspirasi karena pada dasarnya beberapa parpol punya platform yang sama, dan tidak memiliki pendekatan yang berbeda dalam mencari skenario solusi terhadap masalah sosial. Demokrasi menjadi pecundang, ketika dalam Pemilu rakyat dihadapkan pada lembaran kertas lebar-lebar, yang berisi puluhan parpol, ratusan nama Caleg, yang bahkan di bilik suara pun tak seluruh lembar bisa terbuka, yang melipatnya kembali luar biasa sulit. Artinya Pemilu kali ini jauh dari praktis dan sederhana.

Demokrasi tumbang dan kalah ketika sang pemilik daulat menggadaikan hak suaranya dengan uang, sehingga tak bebas lagi kepada siapa aspirasi hendak diwakilkan, tak mungkin merahasiakan otonominya dalam memilih. Meskipun keputusan tak memilih adalah sebuah sikap politik, tetapi memutuskan menjadi golput adalah bentuk pembiaran lolosnya para wakil rakyat yang tidak legitimit menuju ke puncak kekuasaan, dan tidak efektif sebagai strategi perlawanan terhadap rejim.

Demokrasi jelas menjadi pecundang ketika Parpol beserta Calegnya menciderai Pemilu dengan politik uang, merendahkan aturan kampanye, menebar kebohongan kepada publik, terlibat dalam konspirasi politik mensiasati rakyat, tidak mengerti bagaimana membawa aspirasi rakyat, tidak punya basis politik, menyembunyikan identitas personalnya, termasuk niatnya duduk di parlemen untuk mencari pekerjaan. Silahkan pembaca menilai apakah sumber daya politik yang kita miliki masuk dalam kategori yang disebut di atas, atau bukan. Kalau bukan, maka kita selamat, dan demokrasi akan menjadi pemenang.

Juga, demokrasi akan menjadi pecundang ketika penyelenggara tidak netral, tidak adil baik terhadap hak pilih warga negara maupun bagi parpol beserta calegnya, berpihak kepada penguasa dan the ruling party, berkonspirasi dengan konstestan Pemilu demi legitimasi perolehan kursi, serta membiarkan kerumitan proses Pemilu atau bahkan memperbelit – belitkan fakta supaya rakyat tak mampu melakukan kontrol terhadap hak pilihnya. Pembiaran terhadap posisi rakyat sebagai penonton Pemilu inilah yang menjadi dasar argumen bahwa demokrasi telah tumbang dan kalah.

Di saat para akademisi dan kelompok kritis (yang biasa dikenal sebagai Organisasi Masyarakat Sipil – CSOs) bungkam, beku, dan duduk tenang menikmati pemandangan kisruh, carut-marut Pemilu dari kejauhan, maka tak heran bila demokrasi tak bermartabat. Sikap diam, tidak memberi pencerahan kepada rakyat adalah bagian dari kontribusi proses keterpurukan demokrasi. Apalagi, demokrasi cepat tenggelam, lurus vertikal ke bawah ketika para ilmuwan dan pemikir kritis tergadai mendukung kekuatan politik pelaku kecurangan. Meskipun media termasuk kekuatan sosial yang akan menentukan apakah demokrasi akan menjadi pemenang atau pecundang, semoga di tingkat lokal media bukanlah pihak yang terbeli oleh kapitalisme kekuasaan. Karena bila jawabnya “ya”, maka habislah harapan kita untuk tidak mengatakan bahwa demokrasi kita benar-benar seperti pecundang, di mana rakyat benar-benar

Tulisan ini tidak membimbing anda pada analisis hitam-putih, ada baiknya melakukan asesmen yang hasilnya tergambar pada interval kecenderungan kemana pendulum demokrasi berayun ke posisi winner ataukah berayun ke posisi losser. Banyak penetapan perolehan suara melalui pleno KPUD Propinsi/Kabupaten/Kota yang lalu menyisakan banyak problem: ada problem kerumitan, ada problem arena kompetisi yang tidak adil, tidak fair dan tidak sportif; dan ada problem aspirasi dan kepentingan dalam keterwakilan, termasuk untuk konteks keterwakilan perempuan di tingkat nasional dan lokal. Dan diantara problem-problem yang tiap hari bisa kita dengar dan baca, maka pendulum demokrasi menuju ke posisi losser bagi rakyat.

INTEGRASI MDGs PADA LEGISLASI NASIONAL dan DAERAH: TANTANGAN KERJA WAKIL RAKYAT di PARLEMEN

Semua penyelenggara Negara dari Pusat sampai Daerah sudah mengenal MDGs, dan mengetahui bahwa program dan kegiatan pembangunan ditujukan untuk pencapaian komitmen Negara terhadap MDGs 2015. Maka sudah saat nya ada asesmen terhadap tahap pencapaian, agenda program ke depan, serta mengembalikan arah pembangunan yang menjauh dari target MDGs tahun 2015. Tanggung jawab mewujudkan pencapaian MDGs bukanlah merupakan komitmen Pemerintah Pusat dan Daerah saja, komitmen tersebut telah mengikat para wakil rakyat yang duduk di Parlemen. Oleh karena dalam kurun waktu yang tak terlalu lama akan ada penetapan wakil rakyat di Parlemen yang baru hasil Pemilu Legislatif 2009, maka tantangan kerja legislasi bagi mereka adalah melanjutkan agenda MDGs. Secara riil, pekerjaan yang langsung di depan mata adalah melakukan asesmen terhadap produk legislasi yang telah dicapai oleh anggota Parlemen lama untuk pencapaian MDGs. Kemudian melihat agenda program eksekutif dari tahun 2010 - 2015, yang asesmennya bisa dikaji dari PJM Nasional, PJM Daerah tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Apabila detail PJM menjauh dari target MDGs 2015, maka selayaknya sebagai anggota Parlemen yang baru – mereka berkewajiban mengarahkan kembali agenda pembangunan menuju target MDGs tahun 2015 itu. Delapan tujuan MDGs bertautan satu sama lain, dan Negara punya kewajiban untuk mengupayakan pencapaian ke delapan tujuan MDGs secara parallel. Misalnya, bagi kepentingan warga perempuan dan anak perempuan khususnya, agenda MDGs bisa dipertajam dengan melihat realita tentang tingginya angka kematian perempuan atau menderita sakit yang disebabkan oleh kemiskinannya (yaitu terkait pada tujuan 1); disebabkan oleh terabainya akses pendidikannya (terkait pada tujuan 2); dan disebabkan oleh kemarginalan posisi mereka (terkait pada tujuan 3). Kematian ibu beresiko ekstrim pada kesejahteraan anak-anak yang ditinggalkan (terkait pada tujuan 4); ditambah lagi dengan rendahnya otonomi perempuan terhadap pengaturan seksualitasnya. Situasi otonomi seksual tadi pada perempuan adalah keterpurukan mereka dalam insiden HIV/AIDS (terkait tujuan 6). Dan akhirnya, perempuan yang masuk dalam resiko kematian maternal telah hidup dalam lingkungan yang tidak bermartabat seperti kampung-kampung kumuh (berkaitan dengan tujuan 7) dan tidak menjadi bagian / tidak dilibatkan dalam perencanaan pengembangan lingkungan fisik yang mungkin menyeret mereka dalam resiko kesehatan atas pembangunan itu (terkait pada tujuan 8).
Sudah satu tahun terakhir energi gerakan perempuan terkonsentrasi pada agenda affirmative action. Seolah-olah isu perempuan lain terkorbankan oleh agenda affirmative itu. Padahal kalau kita mau membedahnya, upaya meningkatkan partisipasi perempuan di Parlemen, sungguh merupakan mata rantai yang jelas. Mereka membawa isu-isu kritis perempuan ke arus utama legislasi dan kebijakan publik. Perempuan Parlemen menjadi representasi gerakan perempuan untuk mempercepat pemajuan hidup perempuan lain, terutama pada kelompok miskin, minoritas dan marginal. Pada isu kesehatan reproduksi dan kematian maternal, beberapa tindakan pengefektifan pencapaian penurunan kematian maternal yang bisa dilakukan adalah: (a) membatasi kekerasan berbasis HAM yang beresiko meningkatkan kematian maternal; (b) memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap informasi yang benar tentang hak seksual dan kesehatan reproduks. Amnesty International sejak tahun lalu mendorong adanya kerjasama Internasional yang bekerja untuk mempermudah akses informasi berkaitan dengan pencegahan kehamilan tak diinginkan. Tindakan lainnya yang bisa dilakukan adalah (c) memastikan bahwa semua perempuan punya akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi dalam situasi darurat, terutama berkenaan dengan ketidakmampuan membayar. Sehingga perlu dipikirkan skema yang mampu memfasilitasi perempuan tak beruntung untuk mengakses pelayanan kesehatan ketika mereka membutuhkan pertolongan darurat pada masalah reproduktifnya. Kerjasama Internasional juga dipromosikan untuk menyiapkan training dan kompensasi yang cukup bagi para pekerja profesional di bidang kesehatan reproduksi. Gerakan perempuan menggunakan alat berperspektif gender untuk mengidentifikasi dan menjawab perbedaan dan diskriminasi terhadap perempuan, misalnya problem kelompok minoritas, resiko kematian maternal. Kesehatan dan gangguan maternal merupakan konsekuensi dan menyebabkan kemiskinan, dan sering diawali oleh serangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM/HAP. Maka isu ini haruslah menjadi bagian dari pencapaian tujuan ke 5 dan semua tujuan MDGs. Secara internasional, semangat MDGs membutuhkan upaya yang serius baik dari negara-negara sedang berkembang maupun negara-negara maju. Secara nasional dan lokal, juga perlu strategi mempromosikan keikutsertaan kelompok perempuan miskin dalam perencanaan dan keputusan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan dan inginkan. Bagaimana rancangan tindakan di atas mampu direalisasi? tentu harus punya dasar hukumnya. Maka, barulah kita memahami gambaran bagaimana pentingnya perempuan duduk dalam Parlemen. Dan, perempuan yang punya komitmen dan kesadaran pada pembangunan kualitas hidup perempuan lah yang akan mampu merubah wajah capaian MDGs Indonesia. Disinilah benang merah antara pemikiran pendidikan bagi perempuan Indonesia dengan partisipasi perempuan dalam politik. Integrasi target MDGs pada legislasi, Pusat dan Daerah, merupakan mandat utama perempuan Legislatif bagi kaum dan bangsanya.