Selasa, 23 Juni 2009

INTEGRASI MDGs PADA LEGISLASI NASIONAL dan DAERAH: TANTANGAN KERJA WAKIL RAKYAT di PARLEMEN

Semua penyelenggara Negara dari Pusat sampai Daerah sudah mengenal MDGs, dan mengetahui bahwa program dan kegiatan pembangunan ditujukan untuk pencapaian komitmen Negara terhadap MDGs 2015. Maka sudah saat nya ada asesmen terhadap tahap pencapaian, agenda program ke depan, serta mengembalikan arah pembangunan yang menjauh dari target MDGs tahun 2015. Tanggung jawab mewujudkan pencapaian MDGs bukanlah merupakan komitmen Pemerintah Pusat dan Daerah saja, komitmen tersebut telah mengikat para wakil rakyat yang duduk di Parlemen. Oleh karena dalam kurun waktu yang tak terlalu lama akan ada penetapan wakil rakyat di Parlemen yang baru hasil Pemilu Legislatif 2009, maka tantangan kerja legislasi bagi mereka adalah melanjutkan agenda MDGs. Secara riil, pekerjaan yang langsung di depan mata adalah melakukan asesmen terhadap produk legislasi yang telah dicapai oleh anggota Parlemen lama untuk pencapaian MDGs. Kemudian melihat agenda program eksekutif dari tahun 2010 - 2015, yang asesmennya bisa dikaji dari PJM Nasional, PJM Daerah tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Apabila detail PJM menjauh dari target MDGs 2015, maka selayaknya sebagai anggota Parlemen yang baru – mereka berkewajiban mengarahkan kembali agenda pembangunan menuju target MDGs tahun 2015 itu. Delapan tujuan MDGs bertautan satu sama lain, dan Negara punya kewajiban untuk mengupayakan pencapaian ke delapan tujuan MDGs secara parallel. Misalnya, bagi kepentingan warga perempuan dan anak perempuan khususnya, agenda MDGs bisa dipertajam dengan melihat realita tentang tingginya angka kematian perempuan atau menderita sakit yang disebabkan oleh kemiskinannya (yaitu terkait pada tujuan 1); disebabkan oleh terabainya akses pendidikannya (terkait pada tujuan 2); dan disebabkan oleh kemarginalan posisi mereka (terkait pada tujuan 3). Kematian ibu beresiko ekstrim pada kesejahteraan anak-anak yang ditinggalkan (terkait pada tujuan 4); ditambah lagi dengan rendahnya otonomi perempuan terhadap pengaturan seksualitasnya. Situasi otonomi seksual tadi pada perempuan adalah keterpurukan mereka dalam insiden HIV/AIDS (terkait tujuan 6). Dan akhirnya, perempuan yang masuk dalam resiko kematian maternal telah hidup dalam lingkungan yang tidak bermartabat seperti kampung-kampung kumuh (berkaitan dengan tujuan 7) dan tidak menjadi bagian / tidak dilibatkan dalam perencanaan pengembangan lingkungan fisik yang mungkin menyeret mereka dalam resiko kesehatan atas pembangunan itu (terkait pada tujuan 8).
Sudah satu tahun terakhir energi gerakan perempuan terkonsentrasi pada agenda affirmative action. Seolah-olah isu perempuan lain terkorbankan oleh agenda affirmative itu. Padahal kalau kita mau membedahnya, upaya meningkatkan partisipasi perempuan di Parlemen, sungguh merupakan mata rantai yang jelas. Mereka membawa isu-isu kritis perempuan ke arus utama legislasi dan kebijakan publik. Perempuan Parlemen menjadi representasi gerakan perempuan untuk mempercepat pemajuan hidup perempuan lain, terutama pada kelompok miskin, minoritas dan marginal. Pada isu kesehatan reproduksi dan kematian maternal, beberapa tindakan pengefektifan pencapaian penurunan kematian maternal yang bisa dilakukan adalah: (a) membatasi kekerasan berbasis HAM yang beresiko meningkatkan kematian maternal; (b) memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap informasi yang benar tentang hak seksual dan kesehatan reproduks. Amnesty International sejak tahun lalu mendorong adanya kerjasama Internasional yang bekerja untuk mempermudah akses informasi berkaitan dengan pencegahan kehamilan tak diinginkan. Tindakan lainnya yang bisa dilakukan adalah (c) memastikan bahwa semua perempuan punya akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi dalam situasi darurat, terutama berkenaan dengan ketidakmampuan membayar. Sehingga perlu dipikirkan skema yang mampu memfasilitasi perempuan tak beruntung untuk mengakses pelayanan kesehatan ketika mereka membutuhkan pertolongan darurat pada masalah reproduktifnya. Kerjasama Internasional juga dipromosikan untuk menyiapkan training dan kompensasi yang cukup bagi para pekerja profesional di bidang kesehatan reproduksi. Gerakan perempuan menggunakan alat berperspektif gender untuk mengidentifikasi dan menjawab perbedaan dan diskriminasi terhadap perempuan, misalnya problem kelompok minoritas, resiko kematian maternal. Kesehatan dan gangguan maternal merupakan konsekuensi dan menyebabkan kemiskinan, dan sering diawali oleh serangkaian kekerasan dan pelanggaran HAM/HAP. Maka isu ini haruslah menjadi bagian dari pencapaian tujuan ke 5 dan semua tujuan MDGs. Secara internasional, semangat MDGs membutuhkan upaya yang serius baik dari negara-negara sedang berkembang maupun negara-negara maju. Secara nasional dan lokal, juga perlu strategi mempromosikan keikutsertaan kelompok perempuan miskin dalam perencanaan dan keputusan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan dan inginkan. Bagaimana rancangan tindakan di atas mampu direalisasi? tentu harus punya dasar hukumnya. Maka, barulah kita memahami gambaran bagaimana pentingnya perempuan duduk dalam Parlemen. Dan, perempuan yang punya komitmen dan kesadaran pada pembangunan kualitas hidup perempuan lah yang akan mampu merubah wajah capaian MDGs Indonesia. Disinilah benang merah antara pemikiran pendidikan bagi perempuan Indonesia dengan partisipasi perempuan dalam politik. Integrasi target MDGs pada legislasi, Pusat dan Daerah, merupakan mandat utama perempuan Legislatif bagi kaum dan bangsanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar